Sang Burung Kecil

Di kerajaan besar yang bernama Ness, keluarga Aves menjadi keluarga terhormat sejak kudeta yang dilakukan Raja Kaal terhadap Tirani yang telah menjajah tanah ini selama 3,5 abad. Kebahagiaan masyarakat Kerajaan Ness membawa keluarga Aves menjadi keluarga yang bergelimang harta dan kekuasaan. Satu istana untuk masing-masing pangeran, satu istana pusat untuk sang Raja dan keluarga, dan satu keajaiban, tanah emas abadi dikuasai penuh oleh sang Raja. Betapa sungguh nikmat menyantap hidangan di piring emas itu, isi suara hati rakyat. Dan hanya beberapa tahun lagi, penerus berikutnya akan mengambil kendali Kerajaan Ness. Menikmati emas, perak, kuasa, dan jiwa-jiwa yang tunduk padanya. Kecuali satu hal yang menghalangi penerus itu, rahim yang dimilikinya.
Putri Mirai duduk di atas singgasananya, tangannya sibuk menandatangani dokumen-dokumen penting. Sebagai penerus takhta, ia harus siap memikul beban tanggung jawab yang berat. Namun, sebagai seorang perempuan dalam kerajaan yang sejak Raja Kaal hingga Raja sekarang hanyalah pria, ia juga harus tunduk pada sederet aturan yang tidak pernah berlaku bagi saudara laki-lakinya. Tak ada pengecualian untuknya.
“Memang sesibuk apa anda hingga tak sempat makan malam bersama?” suara tajam sang Ratu menghentikannya sejenak.
Ia mendongak, menatap ibunya yang memandangnya dengan kerutan di kening dan ekspresi kaku yang menunjukkan betapa tinggi derajatnya sebagai sang Ratu, atau hanya seorang istri dari sang Raja. Di seberang meja lainnya, berada satu tangga lebih tinggi dari mejanya, sang Raja duduk dalam diam, sibuk dengan gulungan naskahnya sendiri. Ia bahkan tidak bergerak menjauh dari mejanya sejak pagi ini. Sarapan, makan siang, dan makan malam Mirai jarang melakukannya bersama pria itu.
“Maaf, sang Ratu. Saya kira pekerjaan yang sang Raja berikan darurat dan perlu dikerjakan segera. Saya meminta maaf dan izin untuk tak dapat bergabung dengan anda dan saudara-saudara yang lain untuk makan malam bersama,” jawab Mirai berusaha memastikan nada suaranya setenang mungkin dan kata yang ia pilih sudah sangat sopan. Sesuai dengan semua buku Etika Berbicara Bagi Wanita dari berbagai edisi, penulis dan penerbit.
Namun, raut wajah ibunya semakin mengeras. “Sang Raja bisa makan malam sendirian nantinya, namun anda tidak, Putri! Anda tahu aturannya. Tidak makan malam bersama berarti tidak ada makan malam hingga pagi!”
Mirai mengepalkan tangannya di bawah meja. Ia hafal aturan-aturan itu dengan baik. Peraturan istana menuntut wanita untuk selalu hadir dalam perjamuan keluarga, untuk menjaga martabat dan keharmonisan rumah tangga. Tapi anehnya, aturan itu tidak berlaku bagi pria. Bahkan ia tahu letak buku-buku mengenai perjamuan makan bagi wanita. Buku-buku itu di rak kesembilan di lemari bagian Utara, kategori Tata Aturan Rumah Tangga. Oh, tentu saja, perpustakaan terbesar di kerajaan adalah di istana ini, namun hampir setengahnya adalah mengenai peraturan untuk wanita. Ironis, pikirnya. Karena ia akan menjadi penguasa berikutnya setelah sang Raja, tapi ia tetap terikat dengan segala aturan itu.
“Putri Mirai! Apa anda mendengar saya-“
“Berisik,” Raja akhirnya bersuara, hanya satu kata, tetapi cukup memotong perkataan sang Ratu dan membuat sang Ratu bungkam seketika.
Sejak kecil, Mirai tahu bahwa di dunia ini, suara perempuan lebih lemah daripada laki-laki. Bahkan seorang ratu pun harus tunduk di hadapan raja.Ia juga akhirnya akan seperti itu.
Hari demi hari berlalu dalam tekanan yang tak tertahankan. Mirai harus bekerja keras membuktikan dirinya sebagai pemimpin yang layak, namun pada saat yang sama, ia juga harus tetap menjadi putri yang tunduk pada aturan yang telah tertulis, bukan hanya di buku tapi di mental.
Ia harus mempelajari strategi perang, tetapi tak diizinkan untuk ikut berlatih. Ia harus memahami kebijakan ekonomi, namun tidak boleh mengeluarkan keputusan sendiri. Ia harus hadir dalam setiap pesta kerajaan, tapi hanya sebagai pemanis di antara tamu-tamu laki-laki yang membicarakan masa depan negeri tanpa melibatkannya. Menyedihkan, menurutnya. Terkadang ia berpikir, mengapa ia yang lahir pertama sebelum saudara-saudara laki-lakinya? Mengapa ia yang dijadikan penerus jika ia diperlakukan seperti ini? Apa ini salahnya lahir sebagai keturunan pertama dan juga perempuan? Tekanan itu semakin hari semakin menghimpit dadanya. Pada satu malam, ia merenung di balkon ketika tak ada penjaga atau pesuruh yang berlalu melewati sayap ruangannya. Di malam yang gelap gulita, ditemani secercah cahaya bulan dan udara dingin, bibirnya mengatup rapat ketika mata mengedip mencoba menghalangi air mata yang menyelip untuk jatuh.
Di tengah perjuangan itu, satu bisikan terdengar, lari.Sambil menjauhkan air mata, ia menghela nafas, “Ya,”
Segera ia berkemas dalam diam, menyelipkan jubah hitam ke tubuhnya, lalu menyelinap keluar dari istana. Ia tidak peduli jika kelak ia dianggap pembangkang. Ia hanya ingin bernafas, ingin bebas walaupun dosa menyelimuti tubuhnya. Ia memilih tenggelam bersama dosa-dosa itu.
Perjalanannya membawanya ke sebuah desa kecil setelah perbatasan. Satu desa yang jauh dari kemewahan istana. Pagi itu, ia menemukan tempat yang berbeda dari tempat mana pun yang pernah ia lihat.
Di sana, wanita tidak tunduk pada aturan-aturan ketat seperti di kerajaannya. Mereka bekerja di ladang, menjadi pedagang, bahkan ada yang menjadi pemimpin. Seorang pria mengayunkan bayi sambil menyanyikan lagu tidur dan di sudut lain, seorang wanita tertawa sambil memotong alang-alang.
Para pria dan wanita bekerja berdampingan tanpa pembedaan yang kaku. Mereka terlihat bahagia tanpa ada aturan yang membatasi mereka. Merasa lapar setelah perjalanan jauh, ia mendekati satu gerobak buah. Segera saja ia membeli beberapa buah segar dan menyerahkan beberapa keping emas.
“Anda berasal dari kerajaan?” seorang wanita tua yang menjual buah-buah itu tersenyum.
Mirai ragu sejenak, lalu mengangguk.
“Saya tahu itu dari koin yang anda berikan. Di sini harga barang tidak sampai satu keping emas,” wanita itu tertawa kecil. “Anda cukup membayar saya dengan beberapa logam.
“Mirai terkesiap, ia tidak tahu hal itu, karena di Kerajaan Ness pembayaran menggunakan koin emas. “Saya tidak memiliki logam,”
Wanita tua itu tertawa kecil melihat Mirai terlihat panik. “Tak apa, ambil saja buah itu. Itu ucapan selamat datang dariku.”
Mirai tertegun sekali lagi. Wanita itu tidak takut akan rugi, pikirnya.
“Di sini benar-benar berbeda dengan kota ya?”
Mirai mengangguk menjawab pertanyaan wanita itu.
“Di tempat kami, semua orang memiliki hak yang sama. Tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Tidak ada penguasa dan budak. Tidak ada batasan antara pria dan wanita. Tanpa perbedaan itu, kami memiliki kehidupan yang stabil sejak lama. Dulu ketika masa kudeta, banyak orang yang mengalami kesusahan. Ratu yang telah jatuh, membawa kami yang tersisa ke sini, jauh dari kerajaan. Di sini kami membangun kehidupan kami kembali. Saya tidak tahu apakah itu benar atau tidak, tapi itu adalah kisah yang diceritakan sejak saya masih kecil. Saya tinggal di sini hampir selama 64 tahun, dan saya selalu bahagia,” wanita itu tersenyum lembut setelah berkata.
Hati Mirai bergetar. Apakah kebebasan seperti ini benar-benar mungkin? Apakah selama ini ia hidup dalam sangkar yang dibuat hanya untuk mempertahankan kuasa para pria? Bagaimana jika selama ini sejarah dan aturan yang ada hanyalah manipulasi para pria dan orang-orang yang menginginkan kekuasaan? Bagaimana jika sosok Tirani yang ditulis dalam buku sejarah Kerajaan Ness adalah seorang Ratu yang bijaksana?
Apakah leluhurnya, Raja Kaal adalah penjahat sesungguhnya?
Sejak pagi itu, ia memutuskan untuk tinggal di desa tersebut. Ia bekerja sebagai guru kecil untuk anak-anak desa, mengajarkan mereka membaca dan menulis dengan kemampuan yang telah ia miliki. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa dihargai bukan karena statusnya, tetapi karena dirinya sendiri.
Namun, ia tahu ia tidak bisa lari selamanya. Kerajaan akan mencarinya, dan tahta masih menunggunya. Kini, pilihan ada di tangannya. Kembali dan menjalani hidup dalam aturan-aturan yang mengganggunya, atau tetap tinggal di desa ini, hidup bebas sebagai dirinya sendiri.
“Bu Guru! Wajah Bu Guru kenapa?!”
“Apakah itu sakit?!”
“Bu Guru terluka!!”
Seketika tangisan dan keributan mengisi rumah kecil itu. Mirai segera menenangkan anak muridnya ketika ia datang dengan bekas luka yang masih merah merusak wajahnya. Dan gunting di kamar mandi telah dicuci dengan bersih.
Padang, 10 Maret 2025
Annisa Aulia Amanda, namun sebut saja Aan, tipikal penulis standar. Seorang mahasiswi yang aktif berkegiatan di Labor Penulisan Kreatif, Universitas Andalas. @annisaamanda0504