Wisata Religi: Melepas Rindu dengan Nia Kurnia Sari

Nia … Nia … anak yang santun pada orang tua nya
Nia … Nia … tulang punggung bagi keluarga
Di mata kedua orang tuanya
Nia seperti permata yang berkilau indah merona
Anda membacanya sambil bernyanyi? Selamat! FYP Tik Tok kita sama
Bait di atas bukanlah penggalan puisi seorang penyair. Bukan. Itu adalah bait pertama dari lagu “Nia Anak Surga” yang dipopulerkan oleh Caca DA (Dangdut Academy) 5. Lagu tersebut tidak dibilang jarang lagi, bahkan sangat-amat-sering lewat di beranda Tik Tok saya. Apakah Anda juga?
Pikmi banget sih jika Anda tidak tahu kasus pemerkosaan sekaligus pembunuhan seorang gadis penjual gorengan bernama Nia Kurnia Sari di Kayu Tanam, Padang Pariaman pada September lalu. Rata-rata anak muda hingga orang tua sekali pun tahu dan mengikuti berita kejadian itu. Mulai dari penemuan mayat Nia, pelarian Indra Septiarman/In Dragon (Pelaku) selama dua minggu, sampai dia ditangkap kala sedang bersembunyi di atas plafon rumah milik warga. Kasus Nia Kurnia Sari menarik perhatian sekaligus bela sungkawa masyarakat Sumatera Barat, bahkan seluruh Indonesia.
Kematian Nia, seorang gadis yang diketahui menjual gorengan demi mengumpulkan uang untuk biaya kuliah membuat iba sekalangan netizen. Bersamaan dengan itu, tidak sedikit juga publik yang menaruh dendam kepada In Dragon yang tega-teganya memperkosa gadis sepolos itu di semak-semak.
Atas kejadian ini, muncullah rasa prihatin yang menggerakkan hati sebagian orang untuk berziarah ke makam Nia. Pada mulanya, yang datang hanya dari kalangan sanak saudara dekat Nia. Namun, seiring berjalannya waktu beberapa orang yang bukan keluarga juga tertarik untuk turut berziarah. Beberapa dari mereka mendokumentasikan perjalanannya dan membagikannya di akun media sosial mereka. Alhasil, kaum rebahan bisa tahu apa saja kegiatan para peziarah Makam Nia.
Termasuk saya.
Siang itu, saya lagi break sambil buka Tik Tok. Delapan dari sepuluh video yang lewat memperlihatkan bagaimana pengalaman para peziarah makam Nia Kurnia Sari.
Beberapa video yang berkesan dan saya simpan di Markah Tik Tok:
- Seorang wanita paruh baya sedang berdoa dan menangis mengatupkan jemarinya yang diisi tiga cincin emas dan dua gelang emas kiri-kanan dengan teks “Ini lah sultan Jambi yang datang kemakam nya Alm NKS (emot sedih 2x)”.
- Satu keluarga bergantian mencium batu nisan makam Nia Kurnia Sari dengan teks warna ungu “Masya Allah batu nisan almarhum nia harum semerbak” & “Masyaallah batu nisan mu saja harum bidadari syurga”. Video ini tanpa lagu, akan tetapi diisi suara si perekam. Dia berkata, “Hmm.. Harum. Awak lah cium tadi (Saya sudah cium tadi). Harum”.
- Ratu Givana memberikan gorengan ke Buk Eli (Ibu Nia), lalu Buk Eli menangis tersedu-sedu karena ingat sang anak.
- Seorang anak laki-laki bermain sepeda di pelataran masjid dengan teks “Tak sengaja bertemu Agung di Masjid Saat Kami Mau Sholat. Bocah Pintar Penemu Ikat Rambut Nia Ini Terlihat Bahagia Dengan Sepeda Barunya”.
- Seorang Pria Tua mengayuh sepeda ontel dengan teks “Pak Aspirin, sudah 6 kali berziarah ke makam almh. Nia Kurnia Sari, berangkat menggunakan sepeda, dari rumah pukul 2 pagi dan menempuh perjalanan selama 6 jam (emot kamera) dari–(harusnya ke, tapi yasudahlah)–makam nia.
Sebenarnya masih banyak video lainnya, tapi yang nomor 5 bikin saya geleng-geleng dan adrenalin saya seketika memuncak. Seakan ingin meledak dan tak mau kalah.
“Orang tua gitu aja rela ke makam Nia Kurnia Sari sampai 6 kali bolak-balik, masa saya tidak? Apa sih yang dicarinya sampai segitu relanya? Wah! Ga bisa! Saya harus ke sana!” benak saya menggebu-gebu.
Langsung saja saya keluar dari Tik Tok, lalu beralih ke Whatsapp. Saya kirim pesan ke Alfarizi, seorang kawan Melayu. Kebetulan, kami punya selera yang sama kalau masalah seperti ini.
Saya: Ka makam Nia Kurnia Sari wah nah! (Ke makam Nia Kurnia Sari yok!)
Alfarizi: Manga? (Ngapain?)
Saya: Pokoknya harus.
Alfarizi: Sabtu atau Minggu lah, Da.
***
Berangkat!
Kami berangkat pada Minggu, 1 Desember 2024. Langit Padang sedang baik-baiknya. Setelah menjemput Alfarizi di Kosnya, kami harus menempuh perjalanan selama 1,5 jam untuk sampai ke Makam Nia, Kayu Tanam, Padang Pariaman. Awalnya saya berekspetasi lokasinya akan sangat sulit dicari dan memasuki gang-gang kecil desa. Namun, ternyata alamatnya dekat dengan jalan lintas dan tidak susah untuk dicari, karena sudah ada di google maps dengan nama lokasi “RUMAH NIA KURNIA SARI Anak Surga”. Bahkan, sudah banyak yang memberikan komentar, salah satunya akun Doli Gusnizal: “Tempat lahirnya seorang anak gadis yang hebat”.


Beberapa meter sebelum persimpangan pertama, kami berhenti untuk mengecek ke mana arah selanjutnya. Namun, saya segera mengurungkan niat Alfarizi dengan memintanya tidak usah repot-repot buka maps.
“Lihat sebelah kanan. Sudah ada spanduk besar di gapura menuju Makam Nia,” ujar saya sembari menunjuk ke penjual minuman dan kembang kuburan di bawah gapura.

Kami sudah sampai di parkiran Rumah Nia Kurnia Sari yang berjarak sekitar 1 kilometer dari gapura tadi. Mata kami dipenuhi puluhan peziarah yang hilir-mudik. Rata-rata dari mereka berusia 40 sampai 70 tahun yang berasal dari segala penjuru daerah di Sumatera Barat dan segala macam warna-wani pakaiannya. Ada juga rombongan ibu-ibu majelis taklim dengan baju kuning seragam. Selain mereka, pelataran Rumah Nia turut dipenuhi becak ‘Nia Kurnia Sari’ dan para pedagang, mulai dari es teh, kembang kuburan, petai, es cream Miami (lagunya: Es Em Es … Es Krim Miami. Miami, minta Es Krim dong. Es Krim Miami? Enaaak deh rasanya), hingga para penjual balon.

“Nia walaupun sudah tidak ada, dia membawa berkah, Nak. Membuka rezeki kami,” ungkap seorang ibu penjual es teh kepada kami.
Setelah membaca bismillah tiga kali, kami melangkahkan kaki untuk lebih dekat ke Rumah Nia. Alfarizi beberapa kali mengucap masyaallah dan berkata, “Ternyata Nia itu bukan fiksi, Bang. Asli!”
Rumah Nia berdindingkan kayu papan. Luasnya tidak lebih besar dari toilet bioskop XXI di Padang. Di pintu masuknya, terpaku papan bertuliskan Nomor Rekening atas nama Eli Marlina (ibu Nia) dan beberapa spanduk rombongan pezirah, misalnya:
PERKAP NUSANTARA PEDULI NIA KURNIA SARI
Perkumpulan antar Pedagang Nusantara
Satu untuk semua, semua untuk satu

Berbeda dengan Alfarizi yang takut-segan, saya memberanikan masuk untuk melihat secara langsung isi Rumah Nia yang selama ini hanya bisa saya lihat di layar gawai. Di karpet ruang tamu tergeletak dua figura foto Nia Kurnia Sari, sekardus air mineral 350 ml, kartu ujian kampus (SNBT) peninggalan Nia, dan dua buah celengan yang sisi atasnya dibolongi lebih lebar.
Kali ini hanya saya sendiri di rumah itu sehingga bisa leluasa keluar-masuk. Saya sudah anggap seperti rumah sendiri. Saya masuk lebih dalam ke kamar Nia, dan melihat beberapa barang peninggalan almarhumah, seperti: baju sekolah, tiga boneka teddy bear, baju silat, Al-Quran, dan masih banyak lagi. Kata orang-orang kondisi kamar itu dibiarkan sama dengan saat terakhir kali Nia mengembuskan napas terakhir, tapi saya lebih yakin posisi seperti ini dibuat dengan sengaja untuk dipertontonkan kepada para peziarah. Tidak ada yang benar atau salah sih.

Puas melihat seisi rumah, kami beranjak ke spot berikutnya, yaitu Makam Nia Kurnia Sari yang terletak tidak jauh. Namun, kami merasa haus dan sontak membeli dua gelas es teh seharga Rp 10.000.
“Bro, itu Buk Eli, ibunya Nia, ‘kan? Kita harus foto!”
Saya buru-buru mengeluarkan gawai dan mengajak Alfarizi untuk berpotret bersama Ibu Eli. Alfarizi terheran-heran melihat antusias saya.
“Buk, bisa minta foto?” pinta saya.
Buk Eli tak bersuara dan hanya mengangguk.
Seorang pria–saya taksir dia masih keluarga Nia–membantu kami mengambil foto. Dia meminta kami berdiri di depan sebuah spanduk pemberian para pengunjung. Tidak hanya Buk Eli, adik laki-laki Nia juga turut berfoto dengan pose mengacungkan jempol.
Kami beranjak setelah mengucapkan terima kasih.

Bunga Makam Nia Setinggi Pinggang

Tidak. Ternyata gundukan bunga di atas Makan Nia tidak setinggi yang saya lihat di Tik Tok. Kenyataannya, hanya setinggi penggaris 30 cm. Mungkin yang saya lihat adalah akibat posisi pengambilan gambar yang rendah, sehingga gundukan bunga itu terlihat sangat tinggi.
Kali ini kami kembali beruntung. Tidak ada peziarah lain di sekitar Makam Nia, padahal saat itu hari libur. Saya berjongkok dan membaca Al-Fatihah untuk almarhumah, sedangkan Alfarizi masih sibuk mengambil foto dari berbagai sisi.

Tidak berselang lama, kami langsung berjalan menuju spot terakhir, yaitu: TKP 8 Nia Kurnia Sari. Tempat In Dragon mengabulkan hasratnya.
Alfarizi minta untuk naik motor saja ke sana. Sekalian jalan pulang, katanya. Saya mengaminkan pintanya, karena melihat beberapa tetes keringat sebesar jagung di keningnya. Wajah kawan Melayu itu mulai pucat, karena belum makan. Di atas motor dalam perjalanan menuju lokasi berikutnya, Alfarizi bergumam, “Tahu isi … Bakwan …” eh?
TKP 8: Saksi Bisu In Dragon ball

Di jalan setapak sebelum memasuki sebuah parak (kebun), seorang wanita pedagang kaki lima berkata, “Nanti ada papan di persimpangan, belok kanan ya, Nak. Terus kamu akan ketemu lobang. Nah, di sanalah Nia dibunuh sama si In.”
Kami berdua tersenyum dan mengangguk sembari terus melangkah menjauh. Sekeliling kami ramai pengunjung yang masuk dan keluar TKP 8, dan masih didominasi kaum lansia. Hutan kecil itu dipenuhi pohon pisang. Semak-semak sudah dibabat habis oleh warga sekitar, agar memudahkan akses jalan masuk para pengunjung. Sepatu kami menginjak tanah merah kering yang tidak begitu landai.

Di sanalah, In Dragon memperkosa Nia sang penjaja gorengan tanpa ampun demi memuaskan nafsu bejatnya. Saat melihat Nia yang sedang berjalan menjual gorengan, In Dragon menghentikan Nia dan berpura-pura membeli dagangannya. Setelah dirasa sepi, In Dragon sontak menarik Nia menuju hutan lebih dalam, meninggalkan puluhan gorengan yang terserak di mana-mana.
In Dragon panik dan tak berkutik saat Nia tidak bernapas setelah ia perkosa. Takut ketahuan, In Dragon menggali sebuah lubang kecil dan membenamkan jasad Nia yang tanpa busana sehelai pun.
Kini, lubang itu dikelilingi garis polisi yang melarang siapa pun untuk mendekat. Namun, saat kami di sana ada dua orang pria tua yang masuk, bahkan memperagakan bagaimana Nia dikubur dengan mencoba memasukkan badan besarnya ke liang yang sempit itu. Sepertinya, mereka tidak mempedulikan garis polisi, karena ada video Ratu Givana yang juga turut masuk lubang itu yang dibelakangnya terhampar luas pematang sawah nan hijau.

Kematian Nia Kurnia Sari membuat banyak orang berbelasungkawa. Pada zaman yang sangat maju ini, berziarah atau wisata religi seperti kami tidak cukup untuk membuktikan betapa besar rasa duka kepada mendiang. Maka, selain para peziarah dari berbagai suku, budaya, ras, komunitas yang datang tiap harinya tanpa henti hinga tiga bulan setelah kematian Nia, muncullah bermacam-macam bentuk belasungkawa lainnya.
Yang pertama, mulai dari Ratu Givana yang memberikan motor, beasiswa, donasi uang, dan lain-lain untuk keluarga Nia. Lalu, beberapa penyanyi kondang Minangkabau, salah satunya Misramolai yang membuat lagu untuk Nia Kurnia Sari berjudul “Jojoan Gorengan Basabuang Nyao” dan syuting video klip di Rumah dan Makam Nia. Ketiga, prasasti Nia Kurnia Sari. Ibu Eli diundang ke acara Brownies Trans TV. Dan the last but not least kabarnya saat ini sedang dilakukan syuting film kisah hidup hingga kematian Nia Kurnia Sari yang dianggap menginspirasi. Yang ini syutingnya di Bogor.
Rasa penasaran kami berdua sudah sangat terpuaskan. Benar kata orang, “Anda tidak akan tahu kalau tidak coba langsung”. Dan sebagai pria sejati, kami berdua sudah sampai di Makam Nia Kurnia Sari Sang Bidadari Syurga.
Sebelum tembak pulang ke Padang untuk kembali menjalankan aktivitas sebagai manusia biasa, kami memutuskan untuk singgah ke Warkop Ucok demi mengisi perut yang lokasinya tidak jauh dari Rumah Nia. Warung itu fenomenal sekali di Sumatera Barat dan menjadi check point siapa saja yang hendak ke Bukitinggi ke Payakumbuh. Nggak afdhol kalau nggak ke Ucok, begitulah kiranya. Padahal Ucok hanya menjual mi rebus.
Saat sudah memasang helm dan siap menancap gas motor, sang ibu pedagang kaki lima di TKP 8 berucap kepada kami, “Nanti tanggal 17 Desember ke sini lagi ya, Nak. 100 harinya Nia. Ada acara makan-makan.”
“Oke, Buk!” Kami berdua serentak mengacungkan jempol. (*)

Johan Arda, penulis “Ritual Malam Minggu”. Emerging Writer di Balige Writers Festival 2023, Toba, Sumatra Utara.