Coliy Coret Tembok di Hari Buruh: Buat Apa?

“Ini tulisan untuk siapa?” kata Genta, seorang desainer grafis dengan rambut bergelombang panjang seleher. “Ya untuk awak sendiri. Untuk kawan-kawan awak di seburukapasih.com dan untuk siapa saja yang mau baca,” kataku.”
Intinya kami adalah sekumpulan orang egois,” kataku dengan senyum sok asyik. Genta pun mengangguk maklum. Aku berani melempar celoteh sok mantap itu karena aku pun tengah berada di antara orang-orang egois. Genta dan dua kawannya, Ariq dan Miranda adalah para perupa. Seniman visual, menumpahkan ego mereka lewat coretan garis, warna, gambar.
Malam 19 Juni 2024 itu aku bertemu tiga sekawan itu di Taplau, kawasan pantai Kota Padang. Tujuanku menemui mereka: menggali cerita soal seni jalanan untuk kemudian menuliskannya.
Acara Kurang Ramai, Mending Main Semprot-Semprotan
Bicara soal ego dan coretan, aku sering terkenang May Day 2023 silam. “Ben, May Day ini kita coret-coret yuk. Gua lihat di Padang pada bersih-bersih amat temboknya,” ungkap sobatku, Coliy (bukan nama sebenarnya, bukan pula nama yang benar) yang berasal dari Jakarta.
Terdengar seru. Lagi pula, aku belum pernah mendengar dan menyaksikan peringatan Hari Buruh 1 Mei di Kota Padang berlangsung ramai dan heboh. Jika seandainya ada pihak yang mengklaim pernah melakukan aksi May Day yang berdampak besar di Sumbar, aku tidak akan langsung percaya begitu saja karena aku sudah bosan dengan fiksi superhero.
Cukup mengherankan juga. Padahal tidak sedikit jumlah buruh di Kota Padang. Belum lagi kita bicara tentang para petani, rakyat miskin kota, pengangguran, bahkan ‘budak’ berlabel karyawan: para korban sistem. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, ada 478.779 penduduk usia 15 tahun ke atas yang masuk angkatan kerja di Kota Padang, 52.014 di antaranya adalah pengangguran terbuka.
2023 lalu, aksi peringatan Hari Buruh di Kota Padang diramaikan oleh Partai Buruh yang suka pakai warna oranye itu. Jumlah mereka saat itu mungkin lebih dari 50-an orang, tidak sampai 100, berkumpul di depan Kantor Gubernur. Rangkaian orasi terus mengiringi suasana keramaian itu.
Aku dan Coliy ikut datang. Kami sama sekali bukan partisan maupun simpatisan ‘Partai Oranye’ itu. Aku malas menyematkan kata ‘buruh’ untuk partai politik (parpol) yang belakangan menyatakan dukungan untuk Prabowo itu, dan kami pun sering berolok-olok tentang mereka. Namun kami percaya bahwa Hari Buruh semestinya juga untuk kami, sehingga kami pun memutuskan datang ke jalanan meski harus bertemu kerumunan parpol itu.
Kalau memang May Day 2023 di Padang terkesan dimonopoli oleh parpol itu, maka akan seru jika aku dan Coliy datang dan menjadi beda. Di antara massa oranye, aku datang dengan jaket hoodie warna abu-abu, sementara Coliy pakai baju kaos hitam.
Namun bagi kami, “perayaan puncak” ada pada malam harinya di tengah kesunyian kota yang absurd. Aku dan Coliy berkeliling Kota Padang, mencari titik-titik di pinggir jalan yang kira-kira bakal ramai dilewati manusia. Kami membawa cat semprot hitam dan beberapa print-an poster. Melakukan bombing tulisan dan poster sembari berkendara mengitari kota. Raun-raun kalau kata orang Minang.
Di antara coretan-coretan kami itu, ada yang masih bertahan, ada pula yang sudah ditimpali cat tembok. Tepatnya di sebuah jembatan yang melintasi Banda Bakali atau kerap disingkat ‘Banda Kali’, sebuah saluran irigasi yang dibangun sejak zaman Belanda.
Kalimat-kalimatnya memang provokatif dan mungkin mengusik kenyamanan sebagian pihak: “Buruh Melawan”, “Ganyang Oligarki”, dan “Rebut Alat Produksi”.
Mau Pamer ‘Itu’ Setiap Hari
Aku juga menceritakan pengalaman ini kepada Genta, Ariq, dan Miranda. “Tapi aku bukan perupa, aku hanya coret-coret suka-suka,” kataku.
“Santai se bang, seni tu bebas nyo,” timpar Ariq yang kurus lagi memakai kacamata ber-frame tebal dengan amat sopan, rendah hati, nyaris seperti rendah tensi.
Di antara tiga perupa itu, Miranda adalah yang paling sering aku lihat karyanya, karena bisa ditemukan di sejumlah tembok pinggir jalan. Di antara dua orang kawannya itu, dia yang paling banyak bikin gambar di jalanan, mengisi ruang publik.
Salah satu favoritku adalah muralnya yang memperingati International Women’s Day (IWD) di sebuah dinding, pinggir Taman Imam Bonjol. Mantan pacarku yang feminis abis pun pernah meminta untuk memberhentikan sepeda motorku kala kami melintasi tembok itu, agar dia bisa mengabadikan mural itu di galeri handphone-nya. Mural itu pun kini telah ditutupi cat tembok.
Kenapa Miranda kelihatannya senang sekali bikin gambar di tembok dibandingkan kanvas atau kertas? “Bisa pameran setiap hari,” jelasnya tegas, tanpa basa-basi, dan egois.
Tentu saja tidak semua orang bakal suka tindakan Miranda. Seseorang pernah berkata padaku jika ia tidak setuju dengan tindakan ‘vandalisme’ corat-coret tembok di ruang publik.
Namun orang itu justru memakhlumi keberadaan poster, spanduk, maupun baliho politisi caleg dan calon kepala daerah. “Karena tempatnya sudah disediakan”. Pendapat yang konyol lagi dangkal menurutku.
Lagi pula, jika para politisi itu bisa menaruh wajah mereka di ruang publik, kenapa kita rakyat umum tidak dibolehkan menuliskan suara kita di tembok-tembok yang nganggur? Tentu cuma satu alasannya: mereka punya banyak uang, mereka bayar. Sedangkan kita tidak.
Kena Intimidasi, Kena Bayar, Kenangan…
Pengalaman Miranda corat-coret di jalanan mengantarkannya pada berbagai cerita. Ketika mencoretkan kata-kata umpatan tentang kinerja pemerintah daerah di sebuah silinder/tabung panjang yang meintasi Banda Kali, ia pernah diteriaki beberapa warga dan orang dinas dari kedua sisi tepian saluran air tersebut.
Keadaan itu lumayan membuat mereka merasa terintimidasi. Untuk sementara, ia dan kawannya memilih bertahan di atas saluran air itu. Kalau memilih untuk terjun tentu akan lebih konyol lagi ceritanya.
Namun karena terlalu lama, mereka memilih menyerah dan beranjak ke tepian, tempat orang-orang sudah memerhatikan kerjaan mereka. Untung saja mereka hanya beradu perdebatan dan bisa pergi dari kerumunan tanpa harus kena amuk massa.
Pengalaman lainnya membawa Miranda mendapat rezeki. Ia pernah membuat mural di area Gedung Olahraga (GOR) Agus Salim. Gara-gara aksinya itu ia malah diminta untuk membuat mural lagi di tempat-tempat lainnya dan dibayar.
Kisah paling haru terjadi di Muaro Bungo. Miranda mulanya hendak menggambar mural di sebuah dinding ruko. Namun, ia bertemu seorang bapak yang justru meminta Miranda menggambar di dinding rumahnya.
Saat itu, kebakaran hutan sering jadi momok bagi warga setempat, terlebih musibah itu juga mencemari kualitas udara. Ternyata, sang bapak belum lama kehilangan sang anak yang telah meninggal dunia karena infeksi saluran pernafasan atas (ISPA). Umur anak itu kurang lebih baru 1 tahun.
Dalam mural itu, Miranda menitipkan kehadiran sang anak melalui gambar daun. Hijau dan segar. Tulisan “Flow… Dude” ditujukan untuk keluarga yang baru kehilangan. Mendengar keterangan Miranda, aku merinding…
Bagaimana dengan puluhan, ratusan, bahkan mungkin ribuan orang lainnya yang telah menikmati kecantikan mural Miranda di jalanan? Apa yang mereka rasakan? Tidakkah Miranda penasaran? Yang pasti, Miranda adalah salah satu orang paling murah senyun yang aku temui, kendati bersembunyi di antara brewoknya.
Daffa Benny, jurnalis lepas dan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Unand.